Selamat Hari Kesehatan Mental Sedunia. Menjaga kesehatan mental dan fisik sekaligus di masa Pandemi dirasa cukup menantang dari hari-hari sebelumnya. Sayangi dirimu, buat senang, dan selamat membaca. Semoga bermanfaat, lebih tenang dan senang.
Fenomena munculnya Pandemi Covid-19 sejak Desember 2019 lalu membuat panik di seluruh masyarakat dunia. Di Indonesia mulai mewabah sejak Maret 2020, berbagai kebijakan telah diputuskan untuk mencegah penyebaran pandemi ini. Mulai dari kebijakan bekerja dari rumah (WFH), Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan sampai saat ini sekolah dan universitas masih tidak bisa menerima siswa untuk belajar di kelas. Bisa dikatakan berkegiatan di rumah saja adalah tindak terbaik untuk saat ini, jika memungkinkan harus keluar rumah baiknya mengikuti protokol kesehatan.
Pandemi Covid-19 bukan hanya mengancam kesehatan fisik tetapi juga mengancam kesehatan mental. Bagaimana tidak, masyarakat lebih cemas dari biasanya. Cemas akan hidup mereka sendiri, keluarga, teman terdekat dan bahkan lingkungan selitarnya. Wabah pandemi ini memiliki dampak negatif pada kesehatan fisik dan psikologis individu dan masyarakat (Banerjee, 2020, Brooks dkk., 2020, Zhang dkk., 2020)
Mengutip salah satu hasil kaji cepat survei ketahanan keluarga di masa Pandemi yang dilakukan oleh Institut Pertanian Bogor (IPB), dari sebanyak 66% responden perempuan yanh sudah menikah menunjukkan bahwa gangguan psikologis yang paling banyak dialami adalah mudah cemas dan gelisah (50,6 %), mudah sedih (46,9 %), dan sulit berkonsentrasi (35,5 %) (Sunarti, 2020).
Kecemasan biasanya berasal dari persepsi terhadap peristiwa yang tidak terkendali (uncontroled), sehingga individu akan berfokus pada tindakan yang tidak terkendali (Shin & Newman, 2019)
Tidak hanya kecemasan, rasa bosan juga menumpuk jika masyarakat hanya di rumah saja dan tiba-tiba menjalankan aktifitas new normal, ini semacam hal latah tapi harus dilakukan.
Edith Kramer melihat seni sebagai bentuk sublimasi, yaitu cara menyatukan perasaan dan dorongan yang saling bertentangan dalam sebuah bentuk estetis melalui proses kreatif. Dalam art therapy, terapis membantu klien untuk menyalurkan emosi melalui pengalaman proses membuat karya seni (Landgarten, 1981).
Freud (dalam Feist and Feist, 2008) mengatakan bahwa sublimasi merupakan penyaluran emosi melalui hal-hal yang bisa diterima, baik secara kultural ataupun sosial.
Rappaport (2009) mengatakan bahwa terapi seni juga mencakup seni visual, proses kreatif dan psikoterapi untuk meningkatkan kesejahteraan secara emosional, kognitif, fisik, dan spiritiual.
Dari beberapa pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa terapi seni merupakan suatu bentuk ungkapan penyaluran emosi melalui pengalaman proses berkarya seni salah satunya adalah berkarya seni rupa seperti melukis, menggambar, mewarnai, membatik, apresisasi seniu dan masing-masing memiliki peran ntuk meningkatkan kesejahteraan secara emosional, kognitif, fisik dan spiritual.
Barbara Ganim (1999) tahapan dasar dalam melakukan Art Therapy, yaitu :
1. Expressing your emotions
2. Healing thr mind
3. Healing thr body
4. Transformation of the spirit
Baiknya terapi seni didampingi oleh seniman/terapis dan juga psikolog karena art therapy dilakukan secara bertahap dan akan menentukan hasil selama proses terapi berlangsung.
Komentar
Posting Komentar